VIVAnews - Suatu siang, pertengahan April, empat belas tahun silam. Seperti lazimnya siang di Mekkah, terik matahari mencapai 40° celsius. Tapi matahari yang membakar itu sama sekali tak mengusik ribuan manusia dari pelbagai ras, etnis, dan warna kulit.
Mereka, ribuan manusia berbalut kain putih itu, bergerak bak ombak laut, dengan gerak melingkar membentuk pusaran. Gerak itu terus bergulung, mengitari satu titik bangunan kubus hitam berusia ribuan tahun. Itulah bangunan suci, saksi sejarah para nabi, dan simbol keagungan sang maha pencipta: Ka’bah.
Di antara ribuan manusia tadi, terselip Michael Wolfe, seorang penyair, pengarang , dan produser film mualaf asal California AS. Itu adalah kali kedua dia menunaikan ritual haji ke Mekkah. Saat itu Wolfe sekaligus mendokumentasikan perjalanannya, yang kemudian disiarkan di acara
Nightlife milik Stasiun TV ABC.
“Bagi umat Islam, mengunjungi Ka’bah itu seperti pulang ke rumah. Saat Anda ke Mekkah, ada perasaan yang melibatkan hati seorang manusia, seolah-olah Anda sedang kembali,” kata Wolfe. Menurut dia, Ka’bah sebagai titik sentral ritual Haji saat itu, melambangkan simbol Keesaan Tuhan.
Dengan berjalan mengitari Ka’bah, umat Islam mengekspresikan semangat untuk menempatkan Tuhan di pusat pusaran kehidupannya. Dan siapapun yang berada di depan Ka’bah, kata Wolfe, akan merasakan kedamaian di hatinya.
Apa yang dirasakan oleh Wolfe sepertinya juga dirasakan para peziarah lainnya. Seorang pengusaha media nasional, Mario Alisjahbana, misalnya menulis dalam catatan perjalanan haji di majalah Madina, mengatakan hal serupa. Ia menemukan pengalaman membahagiakan saat melaksanakan ibadah thawaf, sa’i, dan salat di depan Ka’bah.
“Kepasrahan dan kebahagiaan menyelimuti saya, benar-benar membuat saya menjadi sabar dan damai,” kata Mario.
Pengaruh Ka’bah terhadap para jamaah yang tengah melakukan ritual ibadah di sana, memang misterius. Bahkan, tak sedikit di antara para jamaah, yang tanpa sadar berurai air mata ketika melihat Ka’bah.
***
Umat Islam meyakini Ka’bah adalah tempat ibadah pertama yang berdiri di muka bumi. Hal ini terabadikan dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran 96, “Sesungguhnya rumah yang pertama kali dibangun untuk (tempat ibadah) manusia, adalah Baitullah di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”
Sebuah cerita pra-Islam mengatakan Ka’bah didirikan oleh Adam untuk beribadah kepada Allah. Namun, sebuah riwayat hadis dari Ali bin Hussain, mengatakan Ka’bah didirikan para Malaikat sebelum kehadiran Nabi Adam di muka bumi. Malaikat saat itu diperintahkan membangun Ka’bah seperti bentuk Baitul Makmur, tempat ibadah yang berada di Surga di langit ke-7.
Namun, seiring waktu berjalan, Ka’bah tersapu banjir besar ketika zaman Nabi Nuh. Ka’bah dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim dan anaknya Nabi Ismail, yang ceritanya terekam dalam Al Qur’an (Surat Al-Hajj : 26). Sejak Nabi Ibrahim, Ka’bah digunakan untuk ibadah Haji.
Setelah itu Ka’bah berkembang menjadi Kota Mekkah diziarahi oleh orang-orang dari berbagai negeri dari jazirah Arab dan Mesir. Oleh karenanya, sepeninggal Nabi Ibrahim, pengelolaan Ka’bah beberapa kali diperebutkan, dan Ka’ba h pun beberapa kali mengalami renovasi dan pengembangan.
***
Dari tampilan fisiknya, Ka’bah memang tidak mengadopsi desain dan arsitektur bangunan canggih. Bentuknya sederhana, sesuai namanya (Ka’bah berarti kubus) dengan ukuran panjang-lebar-tinggi: 13,16 m X 11,53 m X 12,03 m. Di dalamnya ada sebuah ruangan berukuran sekitar 10 X 8 meter persegi, dengan dua pilar menjulang ke langit-langit.
Pada masa pra Islam, ruangan ini digunakan menyimpan patung-patung berhala untuk ritual masa itu. Setelah penaklukan kota Mekkah oleh Nabi Muhammad, ratusan patung itu dihancurkan serta gambar-gambar di dinding Ka’bah juga dihapus. Sudut-sudut Ka’bah mengarah ke empat penjuru mata angin, dengan posisi batu Hajar Aswad menempel di sudut timurnya.
Hajar Aswad adalah salah satu elemen penting Ka’bah. Seperti dicontohkan oleh Nabi Muhammad, jamaah haji biasanya mencium batu ini di sela-sela tawaf. Batu ini mulai dipasang di Ka’bah sejak Ibrahim memerintahkan Ismail untuk mencari sebuah batu untuk dipasang di salah satu celah di bangunan Ka’bah.
Namun setelah sekian lama Ismail mencari batu ini, akhirnya Ibrahim mendapatkan batu ini dari Malaikat Jibril. Batu hitam yang berkilau-kilau ini sejak lama mengundang perdebatan. Menurut hadits riwayat At Tirmidzi, batu hitam itu adalah batu yang berasal dari Surga, yang dibawa oleh Nabi Adam ke bumi. Awalnya, kata hadits itu, batu itu berwarna putih. Tapi karena menyerap dosa –dosa manusia di bumi, batu ini berubah warna menjadi hitam.
Sebagian muslim meyakini batu ini adalah batu meteorit berasal dari luar angkasa. Namun, hipotesa ini belum terbukti kebenarannya. Ada pula yang menyebutnya sebagai batu basalt, batu agate (batu akik), atau kaca alami.
Adalah Paul Partsch, seorang kurator koleksi perhiasan Kerajaan Austro-Hungaria, yang pertama kali memperkirakan Hajar Aswad sebagai batu meteor, pada 1857. Namun, berdasarkan ciri fisiknya, Robert Dietz dan John McHonde menyimpulkan Hajar Aswad sebenarnya adalah batu akik, pada 1974.
Belakangan, seorang pakar sejarah mengatakan Hajar Aswad adalah batu yang bisa mengambang di atas air. Bila benar, berarti Hajar Aswad adalah batu kaca atau batu apung. Pada 1980, Elsebeth Thomsen dari University of Copenhagen menawarkan hipotesis baru.
Menurutnya, Hajar Aswad adalah fragmen kaca yang pecah akibat tumbukan meteor yang jatuh di Wabar, sebuah tempat di gurun Rub’ al Khali, 1000 km di timur Mekkah. Meteor ini diperkirakan jatuh pada 6000 tahun lalu. Namun hipotesis ini pun belum bisa dipastikan kebenarannya.
***
Pada 1977 ilmuwan Mesir Dr Husain Kamaluddin mempublikasikan temuan ilmiahnya bahwa Mekkah adalah pusat bumi. Dibantu pakar Matematika dari Universitas Asyuth, Dr Muhammad Al-Syafi’I ‘Abd Al-Lathif, Husain melakukan penelitian bertahun-tahun melibatkan sekian banyak tabel matematika serta bantuan program komputer.
Penemuan itu ia dapatkan secara tak sengaja. “Awalnya penelitian ini bertujuan menemukan alat yang dapat membantu setiap orang mengetahui dan menentukan arah kiblat,” kata Husain, dikutip dari buku ‘Ka’bah Rahasia Kiblat Dunia’, karangan Muhammad Abdul Hamid Asy-Syarqawi dan Muhammad Raja’l Ath-Thahlawi.
Husain menyiapkan peta berisi gambar benua-benua. Ternyata ia mendapatkan Mekkah berada di tengah-tengah peta dunia. Ia mendapati bahwa tanah di permukaan bumi menyebar dari Mekkah sebagai pusat dengan sangat teratur.
Tak percaya dengan temuannya, ia berkali-kali mengulang percobaannya, bahkan saat ia ujikan kembali dengan peta kuno sebelum terbentuknya Amerika dan Australia. Ternyata hasilnya sama, Mekkah tetap menjadi sentral bumi, termasuk pada awal masa penyebaran dakwah Islam. Tentu saja pembuktian Husain mengundang kontroversi. Ada yang percaya, ada pula yang tak percaya dengan temuannya itu.
Hal lain menarik tentang Ka’bah diungkapkan oleh Agus Mustafa dalam bukunya, Pusaran Energi Ka’bah. Menurut Agus, mengapa doa-doa seorang muslim lebih cepat terkabul ketika ia tengah berada di depan Ka’bah atau Multazam, itu ada penjelasan ilmiahnya.
Agus menyodorkan hukum gaya Lorentz atau juga dikenal dengan aturan tangan kanan. Hukum itu mengatakan bahwa pada konduktor melingkar yang dialiri arus listrik berlawanan arah jarum jam, akan menghasilkan medan magnet yang mengarah ke atas.
Oleh karenanya, kata Agus, ketika lautan tubuh manusia yang mengandung bioelektron mengitari Ka’bah berlawanan arah jarum jam sambil merapalkan kalimat-kalimat talbiyah, maka itu akan melontarkan medan magnet yang demikian besar ke arah langit.
***
Bagi seorang muslim yang taat, tentu saja pembuktian ilmiah terhadap alasan yang melatari ibadah mereka, tak terlalu penting. Benar atau tidak klaim yang mengatakan bahwa Mekkah adalah pusat dari pergerakan bumi, yang jelas Mekkah selalu menjadi magnet bagi muslim di seluruh dunia.
Tokoh muslim pembela hak-hak kulit hitam Amerika Serikat, ElHajj Malik El-Shabazz atau lebih dikenal dengan Malcom X, begitu terpesona dengan semangat persatuan umat yang terjadi selama ibadah haji yang diikuti.
Pengalamannya di sana mengubah pandangan rasisnya selama ini. Kemudian itu diabadikannya dalam sepucuk surat bagi kawannya di Amerika Serikat. “Di sini, ada puluhan ribu peziarah, yang berasal dari seluruh dunia. Mereka berasal dari beragam warna, dari mata biru, pirang, hingga kulit hitam Afrika. Tapi kami semua melakukan ritual sama, memperlihatkan semangat kebersamaan dan persaudaraan, yang selama ini, berdasarkan pengalaman di Amerika, saya kira hal itu tidak pernah ada.”
Selama sebelas hari, Malcolm makan dan minum di piring dan gelas yang sama, tidur di tempat tidur yang sama dan salat kepada Tuhan yang satu. “Saya merasakan ketulusan yang sama dari mereka. Karena keyakinan mereka terhadap Tuhan telah mengenyahkan segala perbedaan dari pikiran mereka."
Islam memang tak membedakan ras, warna, pangkat dan kedudukan. Islam hanya menghargai nilai ketakwaan dari penganutnya. Tak hanya mengajarkan kebersamaan dan persatuan, drama yang terjadi di Ka’bah dan Mekkah, sering menginspirasi atau bahkan mengubah cara pandang dan hidup seseorang.
Dan itu, kerap kali membuat orang meneteskan air mata haru tatkala harus kembali pulang ke negara mereka. Wolfe menggambarkan keharuannya ketika harus meninggalkan Ka’bah dan Mekkah, dengan satu pepatah kuno.