Ilustrasi Cybercirme (www.issa-eg.org) |
Namun selain SOPA, masih ada aturan yang mengancam kebebasan berinternet. Aturan itu merupakan ACTA, atau the Anti-Counterfeiting Trade Agreement. Ini merupakan traktat kesepakatan yang sedang digagas sejumlah negara, yaitu Amerika Serikat, komunitas Eropa, Swiss, dan Jepang. Traktat ini juga melibatkan Australia, Republik Korea, Selandia Baru, Mexico, Jordania, Maroko, Singapura, Uni Emirat Aran, dan Kanada.
Mengutip situs dari lembaga Electronic Frontier Foundation, sebenarnya aturan ini mengatur tentang materi fisik seperti obat-obatan. Namun, ada salah satu isi yang membuat khawatir para aktivis internet, yaitu aturan mengenai "distribusi di internet dan teknologi informasi".
Lalu apa bahayanya ACTA? Kelompok hacktivist Anonymous membuat analogi jika ACTA diterapkan dalam sebuah video yang diunggah di YouTube.
Misalnya Anda ikut kursus memasak, maka Anda dilarang menyebar informasi mengenai resep yang didapat di kursus itu. Jika Anda memberikan informasi mengenai resep yang Anda dapat di kursus itu ke istri Anda misalnya, maka Anda dan istri bisa terancam pidana yang diatur dalam ACTA di negara Anda tinggal.
Tapi bagaimana jika Anda tinggal sendirian? Untuk memastikan informasi resep itu tidak tersebar, maka ACTA memungkinkan pengawasan terhadap Anda, bahkan keluarga, yang jelas mengancam privasi individu.
Lalu seperti apa ACTA akan diterapkan di internet? Mengutip laman Forbes, ACTA memungkinkan hukum di sejumlah negara yang berpartisipasi untuk memaksa seluruh penyedia layanan internet atau Internet Service Provider (ISP) untuk mengadopsi aturan ini.
Dalam penjelasan Anonymous, ISP akan diwajibkan mengawasi seluruh aktivitas di internet. Jadi jika Anda menerima kiriman MP3 dari teman Anda melalui Instant Messaging, atau mengunggah (upload) video yang ada hak cipta (copyright), atau mengirim email yang mengandung konten yang memiliki hak cipta, maka Anda terancam pidana.
ISP juga akan memeriksa untuk memastikan tidak ada materi yang mengandung konten hak cipta untuk disebarluaskan, atau konten bajakan. Konten itu bisa berupa musik, gambar atau video.
Dengan demikian, perusahaan internet yang menyediakan tautan terhadap materi ini pun juga terancam hukuman yang diatur dalam ACTA. Ini termasuk video-sharing seperti YouTube, layanan Instant Messaging seperti Yahoo atau Gmail, juga jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter.
Karena ACTA dianggap mengancam kebebasan berinternet, sejumlah lembaga seperti Electronic Frontier Foundation, juga kelompok hacktivist Anonymous terus berkampanye melakukan penolakan terhadap ACTA.
Dilansir dari Forbes, sejumlah negara disebut telah meratifikasi ACTA ini. Di AS sendiri aturan ini masih dalam proses, sebelum dilakukan ratifikasi di Senat. Menurut Forbes, ACTA disusun terkesan secara sembunyi-sembunyi.
Karena dianggap tidak transparan, ACTA pun ditentang oleh sejumlah negara, antara lain Brazil dan India. Kedua negara ini menganggap ACTA akan berdampak terhadap perekonomian mereka yang masih dalam tahap berkembang. Ini berarti produk suatu negara bisa jadi ikut terancam jika ada negara lain yang sudah mempatenkannya terlebih dahulu.
Di AS, penolakan terhadap ACTA terus dilakukan. Bahkan, petisi penolakan pun sudah disebar di internet.
Tapi hingga sekarang, belum diketahui sudah sejauh mana ACTA ini berproses dan bisa diterapkan. Belum diketahui pula apakah penutupan sejumlah situs file-sharing seperti Megaupload merupakan sekedar uji coba untuk melihat respon masyarakat, sebelum akhirnya ACTA diterapkan.
Sumber vivanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar